Nanggroe Aceh Darussalam
Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang dan kerajaan Sui di Tiongkok pernah
disebutkan sekitar tahun
506
sampai
581 Masehi
terdapat
kerajaan Poli yang wilayah
kekuasaannya meliputi
Aceh Besar sedangkan dalam
Nāgarakṛtāgama di
sebut sebagai
Kerajaan Lamuri
yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik, Rami,
Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan
nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama
Ilamuridesam sebagaimana juga
pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (
1292) asal Venesia
dalam buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran)
saat
itu masih berada dibawah pengaruh kedaulatan kerajaan
Sriwijaya
dibawah wangsa (dinasti)
Syailendra dengan raja pertamanya
Balaputera Dewa, yang
berpusat di Palembang, Sumatera Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya
meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa
yang kemudian membangun
Borobudur,
Rute perdagangan di Asia Timur-Selatan pada abad kedua
belas.
Ketika kerajaan Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya dan
kemakmurannya yang memainkan peran penentu dengan menetapkan pola perdagangan
terdiri atas tiga lapisan yakni pelabuhan dan pergudangan utama pada
Palembang
sedangkan pelabuhan dan pergudangan sub-regional seperti Ilamuridesam (
Lamuri),
Takuapa (
Kedah),
Jambi dan
Lampung
selanjutnya diikuti
Sungsang serta beberapa pelabuhah kecil
lainnya menggunakan alur sungai
Musi dimana dalam
hegemoni alur perdagangan ini kerajaan mendapatkan upeti
berkemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada dari raja
Rajendra
Chola dari
Chola India selatan pada
tahun 1025 dengan melakukan serangan kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di
Sriwijaya termasuk Ilamuridesam (
Lamuri)
dan Takuapa (
Kedah)
yang dihancurkan menjadi sunyi seperti yang diriwayatkan dalam prasasti Tanjore
1030 di India yang
mengatakan bahwa dalam mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ke
tengah-tengah laut lepas yang bergelombang sekaligus menghancurkan armada
gajahnya yang besar dari kerajaan melayu Sriwijaya dan merampas harta benda
yang sangat banyak berikut pintu gerbang ratna mutu manikam terhias sangat
permai, pintu gerbang batu-batu besar permata dan akhirnya Raja Sriwijaya yang
bernama
Sanggrama Wijayatunggawarman dapat ditawan kemudian dilepas
setelah mengaku takluk, tak lama kemudian armada
Chola kembali kenegerinya
sedangkan sejumlah lainnya menetap dan menjadi bagian dari penduduk, dari sini
dapat ditarik kesimpulan bahwa penyerangan tersebut lebih ditujukan untuk
mengamankan atau pengambil alihan jalur perdagangan pada selat Malaka yang pada
waktu itu sudah merupakan jalur perdagangan internasional yang penting daripada
melakukan sebuah pendudukan dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya
sedang melemah karena lebih tertuju pada perkembangan perdagangan. sejak
kekalahan ini kewibawaan kerajaan Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang
memberikan peluang bagi kerajaan-kerajaan yang dahulu berada dibawah kedaulatan
Sriwijaya mulai memperbesar dan memperoleh kembali kedaulatan penuh. Walaupun
demikian keberadaan Sriwijaya baru berakhir pada tahun
1377.